Neraca pendapatan nasional merupakan satu elemen penting dalam pengukuran indikator pembangunan. Neraca pendapatan nasional menunjukkan tinggi rendahnya tingkat pendapatan nasional suatu negara, serta sumbangan masing-masing sektor kegiatan ekonomi terhadap besarnya tingkat pendapatan nasional yang bersangkutan. Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu variabel pembentuk pendapatan nasional. Konsep dasar yang sudah lama dianut adalah jika elemen penyusutan (depresiasi) modal buatan manusia (man-made capital atau produced capital) dikurangkan dari nilai PDB, maka diperoleh nilai Produk Domestik Neto (PDN). Selanjutnya jika PDN ini dikurangi lagi dengan nilai pajak tidak langsung (indirect taxes), didapatkan nilai Pendapatan Nasional.
PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Di Indonesia, perhitungan nilai PDB yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah PDB dengan pendekatan nilai tambah. Menurut BPS (2002) nilai PDB suatu negara tersebut sebenarnya sama dengan nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor kegiatan ekonomi (lapangan usaha) di negara tersebut.
PDB sangat berguna dalam sistem perekonomian negara. Angka PDB digunakan sebagai:
1. Indikator untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu daerah;
2. Bahan analisa tingkat kemakmuran masyarakat dan tingkat perubahan barang dan jasa;
3. Bahan analisa produktivitas secara sektoral;
4. Alat kontrol dalam menentukan kebijakan pembangunan.
Konsep pembangunan berwawasan lingkungan yang dicanangkan sejak GBHN 1999 telah memberikan porsi bagi kelestarian lingkungan dalam pembangunan nasional. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan rakyat melalui konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan sumber daya alam (SDA) dengan menerapkan teknologi yang ramah lingkungan. Namun demikian, di manakah posisi SDA dan lingkungan dalam indikator-indikator yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi, misalkan PDB? Nilai kerusakan lingkungan tidak masuk dalam perhitungan PDB. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang salah satunya ditandai dengan peningkatan PDB belum tentu sejalan dengan kelestarian lingkungan dan SDA. Sebagai contoh, pada bidang kehutanan nilai PDB hanya menunjukkan kontribusi produk kehutanan yang dipasarkan. Nilai penurunan kesejahteraan masyarakat akibat berkurangnya luas hutan tidak mampu direpresentasikan oleh PDB. Meningkatnya kemungkinan masyarakat tertimpa banjir akibat pepohonan berkurang atau berkurangnya sumber daya hayati yang dimiliki hutan tidak terjelaskan dalam PDB.
Dalam banyak kasus, pertumbuhan ekonomi justru berbanding terbalik dengan kelestarian lingkungan akibat eksploitasi SDA yang berlebihan. Sebagai salah satu aset ekonomi, kondisi SDA dan lingkungan yang rusak tentunya akan menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Jika PDB difungsikan sebagai indikator kinerja pembangunan jangka panjang, maka kondisi SDA dan lingkungan perlu dimasukkan dalam perhitungan PDB untuk memastikan sinergisme antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Konsep PDB yang memperhitungkan kondisi SDA dan lingkungan dikenal dengan sebutan PDB Hijau (Green GDP). Konsep ini diperkenalkan oleh Divisi Statistik PBB (UNSTAT) pada tahun 1993 dalam handbook System of National Account (SNA) yang mengimplementasikan System for Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA) dan perubahan lingkungan pada PDB (Green GDP).
PDB Hijau dihitung dengan memasukkan biaya deplesi SDA dan degradasi lingkungan dalam perhitungan PDB Konvensional.Deplesi SDA dan degradasi lingkungan akan menjadi pengurang PDB dalam perhitungan PDB Hijau. Karena itu, pembangunan yang optimal dan berkelanjutan ditandai dengan PDB yang tinggi serta deplesi SDA dan degradasi lingkungan yang rendah.
PDB Hijau memberikan beberapa manfaat dalam penentuan kebijakan pembangunan, antara lain:
a) Menghindari bias perhitungan penilaian kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah (struktur perekonomian lebih realistis);
b) Mengontrol eksploitasi SDA dan kerusakan lingkungan;
c) Sebagai masukan dalam penentuan besar pungutan/ganti rugi kerusakan lingkungan;
d) Menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola kelestarian lingkungan.
Usaha untuk memasukkan unsur lingkungan dalam perhitungan PDB telah dirintis sejak tahun 1995. Departemen Kehutanan telah melakukan uji coba penyusunan PDB Hijau untuk sektor kehutanan pada 11 kabupaten dalam kurun waktu 2005-2007, di antaranya Kabupaten Berau (Kaltim), Madina (Sumut), Konawe (Sultra) dan Blora (Jateng). Namun masih ada beberapa hambatan dalam penerapannya, antara lain:
1. Belum ada ketentuan yang mengatur implementasi PDB Hijau dalam skala nasional. Sampai dengan saat ini PDRB Hijau masih dalam taraf kajian, belum menjadi pertimbangan dalam penentuan prioritas pembangunan sektoral;
2. Keterbatasan metodologi dalam mengidentifikasi dan mengkuantifikasi nilai ekonomi kerusakan ataupun manfaat lingkungan karena pembangunan.
Hambatan utama dalam implementasi PDB Hijau adalah yang kedua dari daftar di atas. Hambatan pertama sebagian besar didasari oleh adanya hambatan kedua. Kesulitan paling besar dalam menghitung PDB adalah mengkuantifikasi nilai deplesi SDA dan degradasi lingkungan, terutama mengkonversi nilai aset yang selama ini dianggap intangible menjadi tangible. Sebagai contoh, pada sektor kehutanan, perhitungan nilai tambah dari fungsi hutan sebagai pencegah erosi dan banjir, penyerap karbon ataupun penyedia air masih sulit untuk dilakukan.
Meskipun sulit dilakukan, sebenarnya ada pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan untuk menghitung nilai tambah dari fungsi-fungsi SDA. Sebagai contoh, untuk menghitung PDB dari sektor kehutanan, perlu dipertimbangkan kebakaran hutan yang sangat sering terjadi, misalkan di daerah Riau. Kebakaran hutan di Riau tentunya akan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana menghitung penurunan kesejahteraan akibat kebakaran hutan? Kita bisa menghitung biaya medis yang timbul untuk menangani pasien yang menderita penyakit pernafasan (ISPA). Dengan mengambil asumsi bahwa biaya medis saat kebakaran hutan tidak terjadi adalah suatu nilai tertentu (misalkan nol), maka penurunan kesejahteraan akibat kebakaran hutan adalah biaya medis dikalikan jumlah pasien yang menderita penyakit pernafasan di rumah sakit-rumah sakit di daerah Riau.
Dalam setiap aspek kehidupan, keseimbangan perlu diwujudkan. Dalam kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, PDB Hijau inilah salah satu pengejawantahan dari keseimbangan tersebut.
PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Di Indonesia, perhitungan nilai PDB yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah PDB dengan pendekatan nilai tambah. Menurut BPS (2002) nilai PDB suatu negara tersebut sebenarnya sama dengan nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor kegiatan ekonomi (lapangan usaha) di negara tersebut.
PDB sangat berguna dalam sistem perekonomian negara. Angka PDB digunakan sebagai:
1. Indikator untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu daerah;
2. Bahan analisa tingkat kemakmuran masyarakat dan tingkat perubahan barang dan jasa;
3. Bahan analisa produktivitas secara sektoral;
4. Alat kontrol dalam menentukan kebijakan pembangunan.
Konsep pembangunan berwawasan lingkungan yang dicanangkan sejak GBHN 1999 telah memberikan porsi bagi kelestarian lingkungan dalam pembangunan nasional. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan rakyat melalui konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan sumber daya alam (SDA) dengan menerapkan teknologi yang ramah lingkungan. Namun demikian, di manakah posisi SDA dan lingkungan dalam indikator-indikator yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi, misalkan PDB? Nilai kerusakan lingkungan tidak masuk dalam perhitungan PDB. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang salah satunya ditandai dengan peningkatan PDB belum tentu sejalan dengan kelestarian lingkungan dan SDA. Sebagai contoh, pada bidang kehutanan nilai PDB hanya menunjukkan kontribusi produk kehutanan yang dipasarkan. Nilai penurunan kesejahteraan masyarakat akibat berkurangnya luas hutan tidak mampu direpresentasikan oleh PDB. Meningkatnya kemungkinan masyarakat tertimpa banjir akibat pepohonan berkurang atau berkurangnya sumber daya hayati yang dimiliki hutan tidak terjelaskan dalam PDB.
Dalam banyak kasus, pertumbuhan ekonomi justru berbanding terbalik dengan kelestarian lingkungan akibat eksploitasi SDA yang berlebihan. Sebagai salah satu aset ekonomi, kondisi SDA dan lingkungan yang rusak tentunya akan menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Jika PDB difungsikan sebagai indikator kinerja pembangunan jangka panjang, maka kondisi SDA dan lingkungan perlu dimasukkan dalam perhitungan PDB untuk memastikan sinergisme antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Konsep PDB yang memperhitungkan kondisi SDA dan lingkungan dikenal dengan sebutan PDB Hijau (Green GDP). Konsep ini diperkenalkan oleh Divisi Statistik PBB (UNSTAT) pada tahun 1993 dalam handbook System of National Account (SNA) yang mengimplementasikan System for Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA) dan perubahan lingkungan pada PDB (Green GDP).
PDB Hijau dihitung dengan memasukkan biaya deplesi SDA dan degradasi lingkungan dalam perhitungan PDB Konvensional.Deplesi SDA dan degradasi lingkungan akan menjadi pengurang PDB dalam perhitungan PDB Hijau. Karena itu, pembangunan yang optimal dan berkelanjutan ditandai dengan PDB yang tinggi serta deplesi SDA dan degradasi lingkungan yang rendah.
PDB Hijau memberikan beberapa manfaat dalam penentuan kebijakan pembangunan, antara lain:
a) Menghindari bias perhitungan penilaian kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah (struktur perekonomian lebih realistis);
b) Mengontrol eksploitasi SDA dan kerusakan lingkungan;
c) Sebagai masukan dalam penentuan besar pungutan/ganti rugi kerusakan lingkungan;
d) Menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola kelestarian lingkungan.
Usaha untuk memasukkan unsur lingkungan dalam perhitungan PDB telah dirintis sejak tahun 1995. Departemen Kehutanan telah melakukan uji coba penyusunan PDB Hijau untuk sektor kehutanan pada 11 kabupaten dalam kurun waktu 2005-2007, di antaranya Kabupaten Berau (Kaltim), Madina (Sumut), Konawe (Sultra) dan Blora (Jateng). Namun masih ada beberapa hambatan dalam penerapannya, antara lain:
1. Belum ada ketentuan yang mengatur implementasi PDB Hijau dalam skala nasional. Sampai dengan saat ini PDRB Hijau masih dalam taraf kajian, belum menjadi pertimbangan dalam penentuan prioritas pembangunan sektoral;
2. Keterbatasan metodologi dalam mengidentifikasi dan mengkuantifikasi nilai ekonomi kerusakan ataupun manfaat lingkungan karena pembangunan.
Hambatan utama dalam implementasi PDB Hijau adalah yang kedua dari daftar di atas. Hambatan pertama sebagian besar didasari oleh adanya hambatan kedua. Kesulitan paling besar dalam menghitung PDB adalah mengkuantifikasi nilai deplesi SDA dan degradasi lingkungan, terutama mengkonversi nilai aset yang selama ini dianggap intangible menjadi tangible. Sebagai contoh, pada sektor kehutanan, perhitungan nilai tambah dari fungsi hutan sebagai pencegah erosi dan banjir, penyerap karbon ataupun penyedia air masih sulit untuk dilakukan.
Meskipun sulit dilakukan, sebenarnya ada pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan untuk menghitung nilai tambah dari fungsi-fungsi SDA. Sebagai contoh, untuk menghitung PDB dari sektor kehutanan, perlu dipertimbangkan kebakaran hutan yang sangat sering terjadi, misalkan di daerah Riau. Kebakaran hutan di Riau tentunya akan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana menghitung penurunan kesejahteraan akibat kebakaran hutan? Kita bisa menghitung biaya medis yang timbul untuk menangani pasien yang menderita penyakit pernafasan (ISPA). Dengan mengambil asumsi bahwa biaya medis saat kebakaran hutan tidak terjadi adalah suatu nilai tertentu (misalkan nol), maka penurunan kesejahteraan akibat kebakaran hutan adalah biaya medis dikalikan jumlah pasien yang menderita penyakit pernafasan di rumah sakit-rumah sakit di daerah Riau.
Dalam setiap aspek kehidupan, keseimbangan perlu diwujudkan. Dalam kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, PDB Hijau inilah salah satu pengejawantahan dari keseimbangan tersebut.
****
artikel-5
No comments:
Post a Comment