Monday, September 14, 2009

AMDAL, SENJATA PEMUSNAH MASALAH LINGKUNGAN


Berawal dari kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, di Indonesia muncul ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah lingkungan hidup. Sebagai tindak lanjut atas UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diberlakukanlah PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Di Indonesia, AMDAL merupakan ’komandan pasukan’ dalam upaya memerangi kerusakan lingkungan.

Dokumen AMDAL terdiri dari :
• Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
Dalam KA-ANDAL, tercantum latar belakang dan tujuan studi amdal, metodologi penelitian serta segala hal yang berkaitan dengan aspek manajemen studi amdal (jadwal kegiatan, susunan tim dan biaya).
• Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
Andal memuat hasil telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting dari suatu kegiatan yang direncanakan.
• Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
RKL merupakan upaya pengendalian dampak yang disebutkan dalam andal. Secara rinci, RKL terdiri atas sumber dampak (misalkan cerobong kiln pabrik semen), bobot dan tolok ukur dampak (misalkan baku mutu emisi partikulat), upaya pengendalian (misalkan dengan menggunakan baghouse filter) dan aspek kelembagaan dalam upaya pengelolaan (misalkan instansi-instansi yang terlibat dan skema jalur koordinasi antar instansi).
• Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Pemantauan dampak lingkungan ialah pengulangan pengukuran pada komponen atau parameter lingkungan untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan karena pengaruh aktivitas proyek. Pemantauan diperlukan untuk menguji akurasi dari pendugaan dampak dan efektivitas dari aktivitas atau teknologi yang digunakan untuk mengendalikan dampak.

Tidak semua kegiatan memerlukan amdal. Dari definisi amdal dapat dilihat bahwa hanya kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting yang harus dilengkapi dengan amdal. Daftar kegiatan yang diklasifikasikan bersifat menimbulkan dampak besar dan penting dapat dilihat pada lampiran KepMen LH Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Namun demikian, kegiatan-kegiatan di luar itu pun wajib memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup.

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL. UKL-UPL disusun berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup. Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian.

Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (DPPL) lebih menekankan pada hasil evaluasi dari kegiatan yang telah berjalan, baik mengenai dampaknya terhadap lingkungan maupun upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang pernah dilakukan. Hasil evaluasi ini selanjutnya menjadi arahan bagi rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan.

Ada beberapa hal dalam sistem tersebut yang mengakibatkan amdal kurang powerful dalam mengendalikan kerusakan lingkungan, di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak adanya sanksi hukum yang jelas
PP 27/1999 menyebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Namun, tak ada pasal yang menyebutkan sanksi yang diberikan apabila suatu kegiatan yang memenuhi kriteria menimbulkan dampak besar dan penting tidak memiliki amdal. Alih-alih menerapkan sanksi (seperti pencabutan izin atau denda dan sebagainya), PerMen LH 12/2007 justru menyatakan bahwa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang sudah berjalan namun tidak memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup wajib menyusun DPPL. Ini akan berlaku efektif untuk kegiatan-kegiatan yang memperoleh izin sebelum PP 27/1999 diterbitkan, namun tidak akan memberikan efek jera pada pengusaha-pengusaha yang ‘bandel’.
Keterkaitan antara amdal dan izin usaha telah sangat jelas diatur pada pasal 22 PP 27/1999. Instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha menolak permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan apabila dinilai tidak layak lingkungan. Namun lagi-lagi tak ada sanksi hukum yang jelas, baik bagi penanggung jawab usaha/kegiatan maupun pemberi izin usaha apabila ketentuan tersebut dilanggar. Hal ini menyebabkan amdal hanya menjadi formalitas yang tidak mendapat tempat dalam proses perizinan usaha.
2. Terdesentralisasinya penilaian atas amdal
PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan penilaian atas amdal. Keterlibatan pemerintah pusat hanya sebatas pada pemberian pedoman pembentukan Komisi Penilai Kabupaten/Kota melalui KepMen LH 41/2000. Hal ini sangat beresiko menyebabkan Pemerintah Daerah mengeksloitasi sumber daya alam di daerahnya tanpa memperhatikan kondisi lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan investasi dan menggenjot PAD.
3. Tidak terpenuhinya kualifikasi Komisi Penilai Amdal
Untuk mengatasi masalah nomor (2) di atas, Komisi Penilai memegang peranan yang sangat penting. Pemerintah Pusat harusnya melibatkan diri dalam pemberian sertifikat sebagai syarat kualifikasi sebagai anggota Komisi Penilai. Namun, KepMen LH 41/2000 hanya mempersyaratkan (minimal) lulus dalam pelatihan dasar amdal. Secara logika seharusnya Komisi Penilai memiliki kualifikasi yang setidaknya sama dengan penyusun amdal, yaitu memiliki sertifikat penyusun amdal.

Terlepas dari segala keterbatasan yang dimilikinya, amdal berpotensi untuk menjadi ujung tombak dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Keberhasilannya untuk mendapat peran yang lebih penting bergantung pada kesadaran kita akan keberadaannya.


*********

artikel-3 >>> MP 114 Sep-Okt 2008

No comments:

Post a Comment