Begitu banyak masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Dari sekian banyak masalah,ada dua isu yang akan menjadi pokok bahasan dari tulisan ini, yaitu kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Apa sebenarnya akar dari masalah-masalah tersebut?
Data statistik tahun 2003 menunjukkan bahwa penduduk miskin berjumlah 38,7 juta jiwa atau 17,6% dari penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, 21,2 juta atau 56,9% di antaranya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sungguh ironis, mengingat Pulau Jawa adalah sentra pembangunan di Indonesia. Pembangunan, yang tujuan utamanya mensejahterakan masyarakat, menemui suatu tembok penghalang dalam mencapai tujuannya tersebut.
Data pemetaan kerusakan lingkungan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup juga menunjukkan bahwa mayoritas kerusakan lingkungan terjadi di Pulau Jawa.
Apa sebenarnya perbedaan antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lain di Indonesia? Ada satu perbedaan yang sangat signifikan di antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia, yakni kepadatan penduduk Pulau Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau lain.
Apa kaitan antara populasi penduduk dengan kemiskinan dan kerusakan lingkungan? Mari kita tinjau satu per satu.
1. Keterkaitan antara Populasi Penduduk dan Kemiskinan
Persebaran penduduk sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Untuk menilai tingkat kesejahteraan penduduk, maka parameter yang dapat digunakan adalah pendapatan per kapita masyarakat. Hal ini terkait langsung dengan tingkat ketersediaan lapangan pekerjaan. Idealnya, tingkat ketersediaan lapangan pekerjaan suatu daerah tidak berkorelasi langsung dengan potensi sumber daya alam. Artinya industri berbasis kreativitas menjadi ujung tombak perekonomian. Namun, penduduk Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya alam yang tersedia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Peningkatan jumlah penduduk (baik dari kelahiran maupun dari migrasi) tidak dapat diimbangi oleh kapasitas alam dalam menyediakan sumber penghidupan bagi masyarakat. Akibatnya, banyak penduduk tidak memperoleh akses ke lapangan pekerjaan. Meningkatnya tingkat pengangguran akan diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin.
Contoh sinergisme antara kepadatan penduduk dan tingkat pengangguran dapat dilihat di Pulau Jawa. Menurut data tahun 2005, Pulau Jawa adalah pulau dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia, yaitu 10,95% dari jumlah angkatan kerja (penduduk berusia 15 tahun atau lebih) menganggur. Propinsi di Jawa yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebanyak 14,73% dari jumlah angkatan kerja di Jawa Barat menganggur. Dua propinsi yang menduduki puncak daftar propinsi dengan kepadatan penduduk terbesar adalah propinsi yang sama, yaitu 13.344 orang/km2 di DKI Jakarta dan 1.044 orang/km2 di Jawa Barat. Data ini merupakan indikasi yang kuat bahwa kepadatan penduduk berbanding lurus dengan tingkat pengangguran di Indonesia.
2. Keterkaitan antara Populasi Penduduk dan Kerusakan Lingkungan
Benang merah yang menghubungkan populasi dengan kerusakan lingkungan adalah kebutuhan manusia akan sumber daya alam, baik untuk menunjang hidupnya maupun untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Bertambahnya populasi diikuti oleh meningkatnya kebutuhan akan lahan, untuk tempat tinggal dan tempat menjalankan aktivitas ekonomi. Karena itu, luas lahan yang awalnya berfungsi sebagai penyeimbang di alam (misalkan hutan yang berfungsi ganda sebagai penahan dan penyimpan air sehingga siklus air bisa tetap berjalan seimbang) berkurang. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang mengarah pada bencana. Banjir yang melanda Jakarta adalah salah satu contohnya. Selain akibat fenomena perubahan iklim (isu yang sangat populer akhir-akhir ini, yang menurut para ahli memicu peningkatan curah dan hari hujan), banjir disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, berkurangnya daerah resapan air. Pembangunan pemukiman dan pusat kegiatan ekonomi (misalnya perkantoran) telah mensubstitusi pepohonan dengan beton. Hal ini terjadi di beberapa tempat, terutama di daerah Puncak-Bogor, sebagai eksportir air limpasan hujan ke Jakarta.
Kedua, tumbuhnya pemukiman-pemukiman di sempadan sungai. Ini mengakibatkan penyempitan sungai sehingga aliran sungai menjadi bertambah deras. Banjir pun sulit untuk dihindari.
Sebenarnya banjir adalah masalah yang sangat kompleks. Masalah infrastruktur pengendali banjir juga menjadi salah satu penyebab. Namun penyebab dominannya adalah kedua hal di atas. Keduanya dipicu oleh meningkatnya populasi penduduk.
Konsumsi energi, sebagai salah satu pengejawantahan dari kebutuhan manusia akan sumber daya alam, juga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Satu contoh yang paling bisa dilihat adalah polusi udara dari sektor transportasi. Banyaknya jumlah penduduk harus diimbangi dengan fasilitas transportasi. Sayangnya, teknologi ramah lingkungan belum banyak diterapkan pada sektor transportasi di Indonesia. Akibatnya, kepulan asap kendaraan bermotor ikut berpartisipasi mempercepat proses kerusakan lingkungan.
**********
Berdasarkan penyebab utamanya, maka kita bisa fokuskan upaya mengatasi dua permasalahan utama di Indonesia tersebut pada usaha pengendalian populasi penduduk, terutama di pulau Jawa. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah pemindahan penduduk dari pulau yang penduduknya padat ke pulau yang penduduknya jarang, atau yang diistilahkan “transmigrasi” oleh Bung Karno.
Telah banyak pemukiman baru yang dibuka oleh Depnakertrans. Pada kurun waktu 2000-2006, sebanyak 976 lokasi UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) untuk 265.348 kepala keluarga (KK) telah disiapkan oleh Depnakertrans. Lokasi UPT ini tersebar di semua pulau-pulau Indonesia, kecuali pulau Jawa, Madura dan Bali. Namun, dari jumlah itu baru 574 lokasi untuk 165.689 KK yang sudah diserahkan. Ini berarti hampir separuh dari UPT yang telah siap belum diserahkan kepada transmigran.
Melihat ketersediaan UPT, rasanya kesulitan bukan dihadapi di tahap persiapan lokasi pemukiman transmigran. Masalah mungkin ditemui saat minat masyarakat untuk bertransmigrasi sangat rendah. Namun, mengingat sumpeknya suasana kota-kota di pulau Jawa (terutama Jakarta), lingkungan yang tidak bersahabat (polusi udara, banjir dan sebagainya) dan banyaknya jumlah penganggur, mungkin masalah minat yang rendah itu bisa pelan-pelan diatasi. Jadi apa sebenarnya apa hambatan terbesar yang dialami oleh Depnakertrans dalam menjalankan program ini?
Apa yang bisa BPK lakukan terkait masalah persebaran penduduk yang tidak merata ini? Sebenarnya, ada setidaknya dua hal yang bisa dilakukan oleh BPK.
Pertama, BPK bisa melakukan pemeriksaan kinerja atas program transmigrasi dari Depnakertrans. Pemeriksaan dilakukan untuk menyelidiki hambatan terbesar dari Depnakertrans dalam menyelenggarakan program transmigrasi. Berdasarkan hambatan tersebut, BPK dapat memberikan rekomendasi kepada Depnakertrans sehingga program tranmigrasi dapat mencapai tujuannya.
Kedua, BPK bisa melakukan pemeriksaan atas persebaran indeks pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia. Bila dilihat lebih luas, transmigrasi bukan hanya mengenai pemerataan jumlah penduduk, melainkan juga pemerataan pembangunan infrastruktur penunjang kehidupan, terutama kesehatan dan pendidikan. Pembangunan infrastruktur di Indonesia selama ini hanya terpusat di Pulau Jawa. Pemeriksaan atas persebaran indeks pembangunan dapat dilakukan untuk melihat daerah-daerah dengan tingkat pembangunan paling rendah sekaligus untuk untuk memberikan masukan kepada pemerintah pusat mengenai kebijakan pembangunan di masa yang akan datang.
********
artikel-2 >>> MP 112 Apr-Jun 2008
Data statistik tahun 2003 menunjukkan bahwa penduduk miskin berjumlah 38,7 juta jiwa atau 17,6% dari penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, 21,2 juta atau 56,9% di antaranya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sungguh ironis, mengingat Pulau Jawa adalah sentra pembangunan di Indonesia. Pembangunan, yang tujuan utamanya mensejahterakan masyarakat, menemui suatu tembok penghalang dalam mencapai tujuannya tersebut.
Data pemetaan kerusakan lingkungan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup juga menunjukkan bahwa mayoritas kerusakan lingkungan terjadi di Pulau Jawa.
Apa sebenarnya perbedaan antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lain di Indonesia? Ada satu perbedaan yang sangat signifikan di antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia, yakni kepadatan penduduk Pulau Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau lain.
Apa kaitan antara populasi penduduk dengan kemiskinan dan kerusakan lingkungan? Mari kita tinjau satu per satu.
1. Keterkaitan antara Populasi Penduduk dan Kemiskinan
Persebaran penduduk sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Untuk menilai tingkat kesejahteraan penduduk, maka parameter yang dapat digunakan adalah pendapatan per kapita masyarakat. Hal ini terkait langsung dengan tingkat ketersediaan lapangan pekerjaan. Idealnya, tingkat ketersediaan lapangan pekerjaan suatu daerah tidak berkorelasi langsung dengan potensi sumber daya alam. Artinya industri berbasis kreativitas menjadi ujung tombak perekonomian. Namun, penduduk Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya alam yang tersedia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Peningkatan jumlah penduduk (baik dari kelahiran maupun dari migrasi) tidak dapat diimbangi oleh kapasitas alam dalam menyediakan sumber penghidupan bagi masyarakat. Akibatnya, banyak penduduk tidak memperoleh akses ke lapangan pekerjaan. Meningkatnya tingkat pengangguran akan diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin.
Contoh sinergisme antara kepadatan penduduk dan tingkat pengangguran dapat dilihat di Pulau Jawa. Menurut data tahun 2005, Pulau Jawa adalah pulau dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia, yaitu 10,95% dari jumlah angkatan kerja (penduduk berusia 15 tahun atau lebih) menganggur. Propinsi di Jawa yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebanyak 14,73% dari jumlah angkatan kerja di Jawa Barat menganggur. Dua propinsi yang menduduki puncak daftar propinsi dengan kepadatan penduduk terbesar adalah propinsi yang sama, yaitu 13.344 orang/km2 di DKI Jakarta dan 1.044 orang/km2 di Jawa Barat. Data ini merupakan indikasi yang kuat bahwa kepadatan penduduk berbanding lurus dengan tingkat pengangguran di Indonesia.
2. Keterkaitan antara Populasi Penduduk dan Kerusakan Lingkungan
Benang merah yang menghubungkan populasi dengan kerusakan lingkungan adalah kebutuhan manusia akan sumber daya alam, baik untuk menunjang hidupnya maupun untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Bertambahnya populasi diikuti oleh meningkatnya kebutuhan akan lahan, untuk tempat tinggal dan tempat menjalankan aktivitas ekonomi. Karena itu, luas lahan yang awalnya berfungsi sebagai penyeimbang di alam (misalkan hutan yang berfungsi ganda sebagai penahan dan penyimpan air sehingga siklus air bisa tetap berjalan seimbang) berkurang. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang mengarah pada bencana. Banjir yang melanda Jakarta adalah salah satu contohnya. Selain akibat fenomena perubahan iklim (isu yang sangat populer akhir-akhir ini, yang menurut para ahli memicu peningkatan curah dan hari hujan), banjir disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, berkurangnya daerah resapan air. Pembangunan pemukiman dan pusat kegiatan ekonomi (misalnya perkantoran) telah mensubstitusi pepohonan dengan beton. Hal ini terjadi di beberapa tempat, terutama di daerah Puncak-Bogor, sebagai eksportir air limpasan hujan ke Jakarta.
Kedua, tumbuhnya pemukiman-pemukiman di sempadan sungai. Ini mengakibatkan penyempitan sungai sehingga aliran sungai menjadi bertambah deras. Banjir pun sulit untuk dihindari.
Sebenarnya banjir adalah masalah yang sangat kompleks. Masalah infrastruktur pengendali banjir juga menjadi salah satu penyebab. Namun penyebab dominannya adalah kedua hal di atas. Keduanya dipicu oleh meningkatnya populasi penduduk.
Konsumsi energi, sebagai salah satu pengejawantahan dari kebutuhan manusia akan sumber daya alam, juga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Satu contoh yang paling bisa dilihat adalah polusi udara dari sektor transportasi. Banyaknya jumlah penduduk harus diimbangi dengan fasilitas transportasi. Sayangnya, teknologi ramah lingkungan belum banyak diterapkan pada sektor transportasi di Indonesia. Akibatnya, kepulan asap kendaraan bermotor ikut berpartisipasi mempercepat proses kerusakan lingkungan.
**********
Berdasarkan penyebab utamanya, maka kita bisa fokuskan upaya mengatasi dua permasalahan utama di Indonesia tersebut pada usaha pengendalian populasi penduduk, terutama di pulau Jawa. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah pemindahan penduduk dari pulau yang penduduknya padat ke pulau yang penduduknya jarang, atau yang diistilahkan “transmigrasi” oleh Bung Karno.
Telah banyak pemukiman baru yang dibuka oleh Depnakertrans. Pada kurun waktu 2000-2006, sebanyak 976 lokasi UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) untuk 265.348 kepala keluarga (KK) telah disiapkan oleh Depnakertrans. Lokasi UPT ini tersebar di semua pulau-pulau Indonesia, kecuali pulau Jawa, Madura dan Bali. Namun, dari jumlah itu baru 574 lokasi untuk 165.689 KK yang sudah diserahkan. Ini berarti hampir separuh dari UPT yang telah siap belum diserahkan kepada transmigran.
Melihat ketersediaan UPT, rasanya kesulitan bukan dihadapi di tahap persiapan lokasi pemukiman transmigran. Masalah mungkin ditemui saat minat masyarakat untuk bertransmigrasi sangat rendah. Namun, mengingat sumpeknya suasana kota-kota di pulau Jawa (terutama Jakarta), lingkungan yang tidak bersahabat (polusi udara, banjir dan sebagainya) dan banyaknya jumlah penganggur, mungkin masalah minat yang rendah itu bisa pelan-pelan diatasi. Jadi apa sebenarnya apa hambatan terbesar yang dialami oleh Depnakertrans dalam menjalankan program ini?
Apa yang bisa BPK lakukan terkait masalah persebaran penduduk yang tidak merata ini? Sebenarnya, ada setidaknya dua hal yang bisa dilakukan oleh BPK.
Pertama, BPK bisa melakukan pemeriksaan kinerja atas program transmigrasi dari Depnakertrans. Pemeriksaan dilakukan untuk menyelidiki hambatan terbesar dari Depnakertrans dalam menyelenggarakan program transmigrasi. Berdasarkan hambatan tersebut, BPK dapat memberikan rekomendasi kepada Depnakertrans sehingga program tranmigrasi dapat mencapai tujuannya.
Kedua, BPK bisa melakukan pemeriksaan atas persebaran indeks pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia. Bila dilihat lebih luas, transmigrasi bukan hanya mengenai pemerataan jumlah penduduk, melainkan juga pemerataan pembangunan infrastruktur penunjang kehidupan, terutama kesehatan dan pendidikan. Pembangunan infrastruktur di Indonesia selama ini hanya terpusat di Pulau Jawa. Pemeriksaan atas persebaran indeks pembangunan dapat dilakukan untuk melihat daerah-daerah dengan tingkat pembangunan paling rendah sekaligus untuk untuk memberikan masukan kepada pemerintah pusat mengenai kebijakan pembangunan di masa yang akan datang.
********
artikel-2 >>> MP 112 Apr-Jun 2008
No comments:
Post a Comment