Wednesday, October 12, 2011

UU 32/2009 : TRANSFORMASI AMDAL ATAUKAH KESIA-SIAAN KEKAL?

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan berjudul ”Amdal, Senjata Pemusnah Masalah Lingkungan” yang dimuat pada majalah pemeriksa nomor 114 edisi September – Oktober 2008. Pada bulan September kemarin DPR telah mengesahkan UU lingkungan hidup yang baru sebagai pengganti UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kehadiran UU ini sebagai benteng utama terhadap upaya perusakan lingkungan patut disyukuri. Tulisan pada edisi 114 mengulas bagaimana UU Nomor 23 Tahun 1997 telah termakan usia dan tak mampu lagi kita andalkan untuk mengawal kita menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Secara substansial UU lingkungan hidup yang baru ini merupakan penguatan terhadap AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Selama kurang lebih 12 tahun usia dari UU Nomor 23 Tahun 1997, AMDAL kurang mendapat tempat yang layak di ”hati” para pelaku ekonomi dan industri Indonesia. Ibarat ksatria yang berangkat ke medan perang, DPR tidak memperlengkapi AMDAL dengan senjata yang memadai dan kuda tunggangan yang perkasa.

UU LH yang lama mengatur beberapa bidang kegiatan terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu pelestarian lingkungan hidup, perizinan, pengawasan dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. UU LH yang baru melakukan perbaikan-perbaikan terhadap bidang-bidang kegiatan tadi. Menariknya, UU LH yang baru mengatur satu tahapan kegiatan yang tidak disebutkan dengan tegas dalam UU LH sebelumnya, yaitu tahap perencanaan.

Pada perencanaan, UU 32/2009 memperkenalkan ”spesies baru” yang diberi nama Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau RPPLH. RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Mirip dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), RPPLH pun disusun untuk masing-masing region wilayah, yaitu nasional, provinsi dan kabupaten/kota oleh menteri dan kepala daerah di masing-masing wilayah tersebut melalui PP untuk RPPLH nasional dan perda untuk RPPLH provinsi dan kabupaten/kota.

Untuk masa yang akan datang, jika pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan serius maka RPPLH ini akan sangat vital perannya. RPPLH memuat rencana tentang :

  1. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
  2. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
  3. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan
  4. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

Selain RPPLH, ada satu dokumen dari UU LH yang baru yang berfungsi sebagai salah instrumen pencegahan terhadap kerusakan lingkungan hidup, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS menduduki peran yang strategis dalam tata ruang wilayah. Menurut UU ini, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS. KLHS memuat kajian antara lain:

  1. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
  2. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
  3. kinerja layanan/jasa ekosistem;
  4. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
  5. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
  6. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Mengutip tulisan pada edisi 114, terdapat beberapa kelemahan dari keberadaan AMDAL menurut UU Nomor 23 Tahun 1997 dan aturan pelaksanaannya. Apakah UU yang baru memberikan solusi atas kelemahan-kelemahan tersebut? Berikut akan kita tinjau satu per satu.

1. Tidak adanya sanksi hukum yang jelas

Kelemahan ini sangat terlihat pada UU LH yang lama beserta aturan pelaksanaannya. Sungguh ironis jika sistem pengelolaan lingkungan hidup disusun dengan rapi dan rumit namun tak ada sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya.

Kelemahan ini tertutupi pada UU yang baru. Ikatan yang dibentuk oleh AMDAL dan sanksi atas pelanggarannya tercantum secara jelas pada UU Nomor 32 Tahun 2009. Sanksi terhadap pelanggaran amdal, dari tingkat penyusun amdal sampai ke pemberi izin usaha, menjadi salah satu ”kekuatan” dalam UU tersebut.

2. Terdesentralisasinya penilaian atas amdal

Semangat otonomi daerah yang diwujudkan oleh PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom menimbulkan risiko over-eksploitasi lingkungan untuk menggenjot PAD. Sejauh ini keterlibatan pemerintah pusat hanya sebatas pada pemberian pedoman pembentukan Komisi Penilai Kabupaten/Kota melalui KepMen LH 41/2000.

Pada UU Lingkungan Hidup yang baru, RPPLH merupakan salah satu perekat antara pusat dan daerah dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. RPPLH daerah (provinsi dan kabupaten/kota) disusun berdasarkan RPPLH nasional. Dengan demikian, gerbong pusat dan daerah yang tergabung dalam kereta pembangunan diharapkan berjalan pada lintasan yang sama menuju pembangunan berkelanjutan.

Perekat yang lain antara pusat dan daerah dalam hal pengelolaan lingkungan hidup adalah baku mutu lingkungan hidup. Pemerintah pusatlah yang menetapkan baku mutu lingkungan hidup yang meliputi baku mutu air, air limbah, air laut, udara ambien, emisi, gangguan dan baku mutu lain melalui Peraturan Pemerintah.

Kewenangan lain yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dalam pengelolaan lingkungan hidup nasional adalah audit lingkungan hidup. Audit lingkungan hidup dilakukan kepada usaha yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup atau penanggung jawab usaha yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Audit ini dilakukan oleh penanggung jawab usaha. Namun jika penanggung jawab usaha tidak melakukannya, maka Menteri Lingkungan Hidup dapat melaksanakan atau menugasi pihak independen untuk melakukan audit.

3. Tidak terpenuhinya kualifikasi Komisi Penilai Amdal

Pada UU ini kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Komisi Penilai Amdal tidak dijelaskan dengan rinci. Persyaratan dan tatacara pemberian lisensi kepada Komisi Penilai Amdal diatur dengan Peraturan Menteri. Karena itu patut ditunggu Peraturan Menteri dimaksud untuk melakukan penilaian lebih lanjut.

Sebagaimana penulis sebutkan pada tulisan ”Amdal, Senjata Pemusnah Masalah Lingkungan”, amdal berpotensi untuk menjadi ujung tombak dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Keberadaan UU Nomor 32 tahun 2009 ini kita harapkan dapat mengeluarkan segala potensi yang ada pada amdal sehingga bisa menjadi panglima perang yang andal, bukan hanya sebuah kesia-siaan kekal.

No comments:

Post a Comment